Malam itu, malam Sabtu. Malam puncak penutupan kegiatan pramuka. Pada malam terakhir itu, acara berlangsung di lapangan yang cukup luas, berukuran sekitar 30x30 meter. Pada sekeliling sisi lapangan, tumbuh lebat pohon cemara udang yang rindang. Kecuali pada bagian sisi barat, terdapat panggung pertunjukan. Digunakan ketika ada kegiatan pentas seni, dan kegiatan lomba antarmahasiswa.
Salah satu instruktur menyampaikan renungan suci, malam itu. Acara puncak berlangsung sektiar pukul 00.00 WIB. Sepertinya, tidak sedang malam purnama. Sang instruktur menyampaikan, betapa manusia ini adalah makhluk yang kecil. Lalu melanjutkan tentang kronologi dan proses manusia tumbuh dari Rahim seorang ibu hingga renta. Itulah sejatinya perjalanan hidup, kehendak-Nya.
Sumber Ilustrasi: id.pinterest.com
Maka, tidak ada yang patut disombongkan dan dibanggakan dari seonggok jazad manusia. Bahkan, justru seringkali bergelimang dosa. Semua peserta diam menunduk. Saya, ikut hanyut dalam hening, sunyi. Sesekali memandangi barisan melingkar para peserta dalam gelap. Remang-remang oleh lampu penerangan area kampus dari jauh. Peserta larut dalam tetesan air mata. Hingga, mulai terdengar isak tangisan mahasiswi. Saya menghela napas. Sebab, puncak acara telah mengantarkan mereka menuju jati dirinya.
Tiba-tiba beberapa mahasiswi “tumbang”, pingsan. Panitia segera bertindak. Hingga acara selesai, semua peserta pulang ke tenda.
Tiba-tiba, suasana berubah menjadi mencekam. Malam menjadi gaduh, ketika salah satu peserta menjerit histeris, berlarian menyebut nama seseorang “penghuni” kampus. Saya, bergegas berlari mencari sumber suara, masih dari lapangan renungan suci, gelap. Suasana makin mencekam, hingga ada sekitar 7 peserta kesurupan massal. Menyebut “penghuni” yang sama. Pelatih dan panitia kewalahan memegangi amukan mereka. Sementara, peserta lain menghubungi pawing kesurupan.
Tampak saya membayangkan, roh gentayangan menyesaki dinding-dinding kampus dan cemara, bergantungan seakan mereka terusik. Wajah menyeramkan dengan rambut berurai, menyelimuti lamunan saya.
Hingga pawang berhasil membuat “hantu” dalam tubuh peserta, barulah mengerti bahwa tanah area kampus adalah kuburan, dulunya. Cerita sang pawang. Saya merinding, bulu kuduk tiba-tiba kaku. Tak berani pandangan mengitari gedung mencakar langit itu.
Pengarang: Ali Harsojo
Terbit di; Buku Antologi No Baper (Dari Genderuwo Hingga Kuntilanak)
Penerbit: Pustaka Media Guru
Post a Comment for "“Mahasiswi” Terusik di Malam Puncak"
Tinggalkan komentar Sahabat sebagai saran dan masukan yang sangat berharga untuk tetap belajar dan berbagi. Terima kasih atas kunjungannya.