Oleh: Diana Ummijathie
Kabupaten Bondowoso yang terletak di
antara kabupaten Jember (sebelah selatan) dan Kabupaten Situbondo (sebelah
utara) dikenal dengan sebutan Kota Tape. Sebab, Bondowoso merupakan penghasil
singkong produktif. Salah satu makanan khasnya yang paling populer adalah tape.
Selain kuliner tape, Bondowoso juga memiliki destinasi wisata, adat istiadat,
kerajinan, kesenian dan beragam budaya berkearifan lokal yang hingga kini masih
dilestarikan oleh sebagian besar masyarakatnya.
Salah satu destinasi wisata yang sangat
populer adalah keindahan alam dan pesona blue fire Kawah Ijen yang
memukau. Kawah Ijen tidak saja dikunjungi oleh masyarakat Bondowoso. Bahkan,
masyarakat dari berbagai daerah juga datang untuk menikmati panorama api biru
yang menakjubkan. Di Kawah Ijen, pada event tertentu selalu dilaksanakan
pertunjukan seni budaya, setiap tahun. Misalnya saja pertunjukan sejarah
tentang peristiwa Gerbong Maut.
Selain itu, salah satu tradisi masyarakat
Bondowoso yang masih kental dilaksanakan adalah tradisi Sontengan. Trdisi
Sontengan merupakan tradisi peletakan sesaji yang diperuntukkan kepada
hal yang gaib dengan melakukan tata cara tertentu. Di beberapa daerah di
Bondowoso, tradisi Sontengan memiliki cara yang sama, namun tujuan
berbeda.
Di pedesaan, orang masih percaya pada
unsur-unsur gaib atau supranatural. Percaya adaya penunggu tempat-tempat yang
disakralkan atau dikeramatkan. Mereka biasa menyebut praksanah, atau sang penunggu di tempat itu. Apapun namanya,
unsur-unsur gaib itu merupakan kekuatan di luar dirinya yang kemudian
melahirkan ritual-ritual ala leluhur masyarakat. Ritual yang secara turun
temurun masih tetap dilaksanakan.
Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan
kajian tradisi Sontengan dari perspektif budaya yang menjadi fenomena
sosial dan kearifan lokal. Telaah tradisi Sontengan ini ditulis
berdasarkan hasi wawancara dengan pelaku tradisi tersebut sebagai narasumber.
Jadi, sajian tulisan ini sengaja tidak mengupas dari dimensi religiusitas.
Menurut salah satu narasumber, manusia dalam hidup dan kehidupannya selalu
memerlukan unsur kekuatan di luar dirinya, yaitu hal-hal yang gaib. Inilah yang
mendasari lahirnya tradisi Sontengan itu.
Air merupakan sumber kehidupan dan
kebutuhan utama bagi makhluk hidup, terutama bagi warga Desa Tasnan Kecamatan
Grujugan. Oleh karenanya, seluruh masyarakat berkewajiban melakukan tindakan
penyelamatan terhadap sumber mata air di desa tersebut. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah mengadakan tradisi Sontengan, artinya membawa sesaji
berupa tumpeng ke sekitar sumber mata air di desa itu.
Menurut Pak Hom, sesepuh desa tersebut,
tradisi Sontengan dilaksanakan dengan tujuan sebagai wujud rasa syukur
atas limpahan air, hingga desa ini menjadi subur dan tidak pernah kekurangan
air bahkan di musim kemarau. Selain itu untuk keselamatan seluruh warga desa,
dan sebagai penghormatan kepada leluhur. Tradisi ini sudah berlangsung turun
temurun dan tetap dilestarikan hingga kini.
Sontengan dilaksanakan pada 10 Suro setiap tahunnya. Pada hari yang ditentukan, warga berjalan berarak menuju sumber mata air, membawa tumpeng berukuran besar, dengan menu potongan daging ayam, daging sapi, telur serta menu lainnya. Sebelum nyonteng, sesepuh desa membacakan doa dan ayat-ayat dari kitab suci Al-Quran. Prosesi sontengan diakhiri dengan makan bersama. Di sinilah tercipta rasa persaudaraan dan kebersamaan antarwarga tanpa melihat perbedaan dan status sosial.
Foto dokumen pribadi |
Selain di Desa Tasnan, Sontengan,
juga dilaksanakan di Kelurahan Curahdami Kecamatan Curahdami. Prosesi ini
dimaksudkan untuk beberapa tujuan, yakni sebagai wujud kesyukuran atas segala
yang diterima dari Sang Maha Kuasa, sebagai acara doa dan persembahan sesaji,
kepada yang gaib, dan sebagai ikhtiar sebelum melakukan sesuatu.
Menurut Muhammad Djoko, salah
seorang yang ditokohkan dalam hal sontengan di kelurahan Curahdami ini,
bahwa sebagai orang yang ditokohkan harus bisa menjelaskan kepada masyarakat
agar tidak tersesat. Menurutnya yang
gaib itu banyak makhluk serupa tetapi jika salah memberikan pemahaman pada
masyarakat, bisa-bisa menjadi pemuja setan.
Percayakan semuanya kepada Allah SWT, dan ritual ini hanya melestarikan
budaya leluhur, perkara jin dan setan menikmati sesaji atau sontengan
biarkan saja, kita tidak memujanya, dan biarkan dia menikmati sajian kita.
Jangan sekali kali menganggap ini sebagai kewajiban, dan hanya sebagai hiburan
mistis, demikian yang disampaikan pada saya saat mewawancarainya.
Prosesi sontengan
ini memerlukan bahan yang biasa di persiapkan oleh orang yang nyonteng,
seperti: sere penang, rokok, sek rasol,
tajhin berna lema’, dhe’ kembheng, dhemar kambheng, uang receh, dan jaman dahulu ada ayam
panggangnya. Sere–penang (sirih dan
pinang) ditempatkan di samping tajhin
berna lema’. Se’ rasol/nase’ rasol adalah
nasi punjung yang berbentuk kerucut, di atasnya diberi telur rebus.
Tajhin
berna lema’ (jenang/ bubur beras lima warna) adalah bubur beras putih yang diberi
lima warna: merah perlambang api, hitam perlambang tanah, kuning perlambang
air, hijau perlambang angin dan putih unsur benih ayah dan ibu manusia.
Semuanya diberi dengan jumlah yang seimbang dengan harapan tidak ada yang
terlalu dominan pada manusianya, sehingga hidup dalam keseimbangan. Kalau
misalnya terlalu banyak merah (api) maka orang tersebut menjadi pemarah dan
sebagainya.
Dhemar
kambheng adalah lentera kecil yang menggunakan minyak
kelapa sebagai bahan bakarnya, ditempatkan di tengah-tengah tajhin,
harapannya ada unsur penerang pada diri manusia yang melakukan sontengan
tersebut. Dhe’ kembheng adalah bunga
sesaji yang biasa dijual di pasar-pasar, diletakkan pada daun pisang yang
berbentuk kerucut. Pesse (uang receh)
diletakkan dalam dhe’ kembheng. Tujuannya untuk bersedekah tanpa
diketahui dari dan ditujukan kepada siapa uang tersebut.
Biasanya jika ada orang lewat, uang itu
bisa diambil. Hal ini mengajarkan sikap tanpa pamrih dan pilah pilih. Semua
bahan tersebut diletakkan di atas ancak, yaitu nampan segi empat dari pohon
pisang yang diberi jeruji saling silang dari bambu di bagian bawahnya. Demikian
penjelasan dari bapak Muhammad Djoko.
Di kelurahan Curahdami, tradisi Sontengan
biasanya dilaksanakan ketika akan menggarap lahan pertanian. Pada saat
menjelang tanam, menjelang menyiangi rumput, pemupukan serta menjelang panen.
Tempat pelaksanaan di dekat aliran air di sawah tersebut. Selain itu, Sontengan
juga dilaksanakan di acara hajatan pernikahan. Bertempat di sumber air atau
sumur yang airnya digunakan untuk keperluan hajatan.
Pada saat Kadhisa (selamatan desa)
yang biasa dilakukan pada bulan tertentu tiap tahunnya, tak lepas peletakan sonteng.
Sontengan ditempatkan di area sumber air yang dipakai oleh masyarakat
desa tersebut.
Mengakhiri
perbincangan dengan Bapak Muhammad Djoko, beliau menitipkan agar tidak
menganggap Sontengan sebagai kewajiban dan ibadah. Sontengan
hanya tradisi sedangkan ibadahnya adalah acara baca doanya saja. Harapannya
masyarakat memahami bahwa sontengan ini merupakan tradisi yang perlu
dilestarikan, bukan memuja jin dan setan.
Narasumber 1
Nama: Sanidin alias Pak Hom
Usia: 63 tahun
Alamat: Desa Tasnan Kecamatan Grujugan Bondowoso
Narasumber 2
Nama: Muhammad Djoko
Usia: 67 tahun
Alamat: Kelurahan Curahdami Kecamatan Curahdami Bondowoso
Diterbitkan pada Buku: Budaya Bondowoso Lestari (Antologi Literasi Budaya dan Kearifan Lokal Kabupaten Bondowoso)
Ok... infonya
ReplyDeletetrims
Delete