“Nun, aku bersyukur dipertemukan denganmu. Mungkinkan Allah mentakdirkan kita bersama?” kata Nandi sambil berkaca-kaca. Nandi tak bisa menutupi kebahagiaannya, bertemu dengan Banun, di bus itu.
Memang, Nandi
dan Banun memiliki profesi yang sama, seorang guru. Mereka dipertemukanNya
dalam acara yang sama, launching
karya buku di gedung istimewa, Jakarta. Panitia memfasilitasi bus antar jemput
dari hotel ke tempat acara.
Senja kian
menenggelam ketika mereka sedang bersama dalam bus itu. Embusan angin membuat
suasana semakin mengharu biru. Tampak suasana kota Jakarta mulai redup oleh
malam, hingga terlihat jelas pernak-pernik lampu yang memagari sepanjang jalan.
Gedung-gedung mencakar langit pun berbalut cahaya lampu yang benderang.
Banun tak
segera menjawab pertanyaan Nandi. Nadinya berdetak kencang, jantungnya berdegup
tak karuan. Nandi masih saja mengelus lembut tangan Banun. Banun tampak gugup
membisu. Ia tak mampu berkata-kata. Hanya tatapan syahdu memadukan pandangan
mereka. Saling pandang, hingga hati mereka bergemuruh. Cinta.
“Aku punya
saudara, di Jakarta”, sahut Banun seperti mengalihkan pembicaraan.
Nandi memahami
kondisi Banun. Sebab, dalam bus itu banyak teman guru lain yang juga akan hadir
di acara yang sama. Malam itu, sejatinya akan mengadakan acara gladi bersih
untuk acara esok hari.
“Biar, aku
ambilkan pigura cover buku milikmu”, pinta Nandi pada Banun. Rupanya Banun
tersipu. Hingga keduanya sama-sama berjalan menuju bagian samping kiri panggung
acara, mengambil cover buku yang telah dipigura.
“Bukumu bagus,
ya”,katanya sejenak.
“Bukumu lebih
bagus, dik”, jawab Nandi, sengaja memanggilnya adik.
Mereka saling
pandang, penuh misteri. Saling berfoto dengan pigura masing-masing di tengah
kerumunan temann guru lainnya. Meski dalam keramaian, Banun dan Nandi bercuri
pandang di sela sesaknya teman guru lain yang berbahagia.
Gladi bersih
berlangsung lancar. Panitia telah memandu sebagaimana mestinya. Setiap guru
yang berasal dari kabupaten dan kota yang sama diberi kesempatan untuk berfoto
bersama. Sementara itu, di tengah kesibukan guru lain berfoto, Nandi mengajak
berfoto bersama Banun.
“Pegang
piguraku ya, aku minta Devi memoto kita”, pinta Nandi. Banun mengangguk.
Perawakan Banun yang tidak banyak bicara, lembut dan cantik ini, membuat Nandi
semakin memahami kepribadian Banun.
“Sepertinya,
kalian mesra deh, dari kemarin-kemarin”, celoteh Devi, teman Nandi. Banun
tersenyum sambil membalas dengan cubitan. Nandi menjadi semakin bahagia. Meski
secara langsung belum pernah menyatakan yang serius tentang perasaannya,
rupanya Banun juga sudah memahami maksudnya.
**********************************************************************************
Pagi hari
menyambut bahagia. Entah harus mengatakan apa kepada Banun. Nandi telah
memimpikan sosok yang didambakannya itu.
“Ayo sarapan”,
ajak Nandi ke restoran di penginapan itu. Di penginapan itu, terdapat sekitar
40 guru yang memiliki tujuan sama, dari berbagai daerah. Sehingga, praktis
banyak guru yang dikenalnya, walaupun sebelumnya hanya bertemu tatap muka di
pelatihan online.
Mereka semua
bersama kembali naik bus menuju tempat acara. Sekitar 1 jam naik bus, tibalah
di tempat acara.
Rentetan acara
telah dilalui. Tibalah di acara puncak, pengumuman pemenang lomba menulis
tentang kearifan lokal. Banun dipanggil ke podium untuk menerima sertifikat
penghargaan, sebagai pemenang 2 ulasan tentang pariwisata dan kuliner di
kabupatennya. Banun tampak bahagia dan menangis bahagia.
“Selamat,
selamat bu Banun, selamat”, kata Nandi resmi mengucapkan selamat.
“Terima kasih,
Pak Nandi”, jawabnya singkat.
“Izin berfoto
dengan sang Juara ya?”, pinta Nandi sambil selfi. Guru lainnya juga ikut
berfoto ria.
Acara
usai dengan segudang harapan. Bukan soal jumpa guru yang meriah. Nandi, masih
menyimpan rasa tersayang untuk Banun. Banun pun tersipu dengan setiap ucapan
Nandi.
Setelah
perhelatan acara selesai, mereka pulang ke kabupaten masing-masing. Dalam
perjalanan, tiada henti Banun dan Nandi selalu telponan, vicall dan chattingan.
Hingga tak terasa, mereka tiba di rumah masing-masing.
Sepekan, Nandi
dan Bahun kembali pada kesibukan masing-masing, mengajar di sekolah. Bahkan,
Banun semakin sibuk setelah menjadi Instruktur di Kabupatennya.
“Assalamualaikum”
“Bagaimana
kabarmu”
“Kapan bisa
sharing ilmu kamu?”
“Yuk, menulis
bareng, aku ingin belajar darimu”
Lalu, Nandi
mengirim gambar emotion icon, minta maaf, senyum, dan jempol. Sepertinya satu
jam tidak dibalas. Setiap saat selalu bertanya kabar via WA. Juga tak berbalas.
Kriim lagi dan dihapus lagi. Tujuan Nandi menghapus sebenarnya agar perasaannya
lebih tenang terhadap apa yang ditanyakan. Ia berharap Banun juga bertanya
tentang apa yang dihapus.
“Aku gak suka,
kirim chat lalu dihapus, TITIK!!!”, chat Banun
seperti suara meninggi. Lalu tak berkabar lagi.
Nandi tak bisa
berkata-kata. Pandangannya sayu membaca chat
Banun, senja itu benar-benar kelam. Ia tak bisa menjawab lagi dengan kalimat
mesranya. Hanya icon menangis menghiasi chat
terakhir dengan gadis impiannya. WA-nya telah diblokir tanpa alasan dan
konfirmasi yang jelas. Nandi pasrah, dengan tangan tengadah penuh harapan,
Banun segera kembali kepadanya. Meski hanya menjadi kekasih, tanpa ia mau
menerimanya.
Tentang Penulis
Ia
menulis 5 buku solo dan sekitar 135 buku antologi. Buku pertamanya adalah
Samudera Inspirasi di Facebook (Pustaka MediaGuru) yang diluncurkan bersama
pada acara Gebyar Literasi dan Temu Penulis Nasional tanggal 20-21 Mei 2017 di
Kemdikbud Jakarta. Buku solo berikutnya adalah Bedah Literasi Kelas (Catatan
Literasi Pak Guru), Model Konstruktivistik dalam Pembelajaran Menulis Laporan, Novel
Anak: Dio Si Penggalang serta Empang dan Entun (Pentigraf Sosial).
Email:
aliharsojo@gmail.com
Blog:
www.aleepenaku.com dan alee.gurusiana.id
WA:
081703181191
Post a Comment for "Chat Terakhir"
Tinggalkan komentar Sahabat sebagai saran dan masukan yang sangat berharga untuk tetap belajar dan berbagi. Terima kasih atas kunjungannya.