Kebaikan Tak Lekang Dimakan Waktu
Enny Lailatul
Mahmudah
Ramadan kali ini terasa
masih terasa berat bagiku, karena 6 tahun yang lalu Ramadan masih kami lalui
bersama – sama orang – orang tersayang, ibu masih bersama dirumah ini menjalani
Ramadan bersama – sama kami. Walupun
sudah beberapa tahun namun rumah ini masih terasa sepi. Ibuku tersayang telah berpulang ke Sang Kholiq yang lebih
menyayangi ibu kami.
Kepergian ibu kami di bulan
Rajab 6 tahun yang lalu membawa duka tersendiri bagi kami. Terasa seperti
mimpi, karena pada hari ahad sehari sebelum ibu meninggal kami bersenda gurau
walupun saat ibu dalam kondisi dirawat dirumah sakit karena divonis sakit
ginjal. Saat itu Bapak, kami 3 bersaudara beserta para menantu dan semua cucu –
cucunya berkumpul di rumah sakit. Kami melihat kondisi ibu membaik dan begitu mengalami perkembangan pesat dari hari
– hari sebelumnya.
Ibu menceritakan masa kecil
kami sampai kami saat ini, dimulai dari kakak – kakak kami termasuk juga sampai
hal masalah lika – liku percintaan yang dialami kakak kami yang terasa begitu
menarik. Disela – sela ibu bercerita kami tertawa. Sampai saat azan Ashar berkumandang saudara –
saudara dan bapak kami berpamitan untuk
ke masjid melaksanakan Salat Ashar kemudian pulang ke rumah untuk beristirahat,
tinggallah saya dan ibu yang berada dikamar inap rumah sakit.
Saat itulah setelah selesai Salat
ashar ibu menunjukkan perubahan drastis. Saat perawat memasuki ruangan dan
ingin mengganti selang infus ibu, ibu tiba – tiba mengalami kesulitan
berkomunikasi. Suaranya serak dan lidahnya kelu, muncul keringat dingin di dahi
ibu. Saat itulah sedikit terasa bingung pada diri saya, yang bisa saya lakukan
hanyalah menemani ibu dengan membaca Al – Quran dan memegangi dadanya yang
katanya agak terasa nyeri.
Hingga tibalah saat hari
Senin, tepatnya jam 10 pagi ibu itu menyuruh saya membuka pintu kamar karena
ada tamu, padahal setelah saya buka dibalik pintu tidak ada siapapun. Hingga
saat azan Dhuhur berkumandang, ibu mengajak saya untuk melaksanakan Salat
Dhuhur berjamaah namun saya menolaknya karena saya tidak tega mendengarkan
suara ibu yang tesengal-sengal dan saya ingin menjaga ibu yang sedang melakukan
Salat Dhuhur.
Ternyata Allah berkehendak,
setelah ibu selesai melaksanakan Salat Duhur napas ibu semakin cepat tersengal-sengal.
Saat itu semua saudara saya telpon karena saya cuma hanya tinggal berdua sama
anak saya, bersamaan dengan itu bapak juga baru dari datang dari masjid.
Disitulah perjalanan napas ibu yang tidak kami ketahui kapan berakhirnya,
karena setelah Salat dhuhur dan saat saudara kami berkumpul semuanya dalam
tersengal-sengalnya ibu membacakan surah Al-Mulk sampai selesai, kemudian tidak
lama menutupkan matanya. Kami mengira ibu tertidur karena itulah kebiasaan yang
dilakukan ibu sebelum tidur ternyata Allah membuat ibu tertidur dan tidak lagi
merasakan sakitnya.
Hingga saat ini yang
membuatku semakin terharu adalah saat murid-murid dari ibuku (ibuku adalah guru
ngaji) yang sudah berada diluar kota datang dan bermain ke rumah. Mereka
menumpahkan rasa kangennya pada ibu saya dan rasa terimakasihnya yang begitu
besar karena ibu telah mengajari mereka mengaji dengan telaten dan sabar
sehingga mereka kini bisa berada diperguruan tinggi dan mendapatkan fasilitas
yang memuaskan karena mereka memiliki hafalan Al – Quran.
“Hanya doa yang bisa saya
panjatkan untuk ibu (mereka memanggil ibu saya dengan panggilan ibu juga)
tercinta, semoga kami kelak bisa berkumpul di Syurga-Nya Allah” ucap mereka.
Begitu terharu mendengar ucapan mereka. Rasa sabar dan sayang yang ibu berikan
bukan cuma kami anak – anaknya yang merasakan namun murid-muridnya juga
merasakan itu semua.
Dalam benakku, bisakah aku
seperti ibuku yang selama beliau hidup bersamaku tak pernah terucap rasa kesal
maupun marah padaku. Di lain waktu, seorang ibu juga datang ke rumah membawa
bermacam – macam oleh – oleh untuk kami. Ibu tersebut juga bercerita tentang
perhatian yang ibu berikan terhadap mereka anak – anak yatim dan kaum dhuafa,
mereka juga mendoakan ibu kami. Belum lagi banyak kebaikan yang masih tetap
kami rasakan sepeninggal ibu karena kebaikan yang ibu lakukan.
Ramadan kali ini memberikan banyak pelajaran bagi saya, bahwa kebaikan yang kita lakukan tak kan pernah terlupakan, sampai kapanpun orang akan mengingat setiap kebaikan yang dilakukan walaupun kita sudah tiada. Kebaikan yang kita berikan pun bisa membawa kebaikan untuk anak dan cucu – cucu kita nantinya. Do’a tersayang kami terucap untuk ibu dan bapak kami “Allahumagfirlii wali wali dayya warhamhuma kama robbayani soghiro”
Tentang
Penulis
Penulis yang memiliki nama
lengkap Enny Lailatul Mahmudah dan biasa dipanggil dengan panggilan Enny
dilahirkan di Sumenep, 8 Juli 1981. Penulis
dilahirkan dari keluarga guru, ayahnya yang merupakan asli pulau Sapeken
– Sumenep adalah seorang guru SD. Sedangkan ibunya berasal dari Desa Gumeno
kecamatan Manyar – Gresik adalah seorang guru madrasah dan Taman Kanak – kanak.
Penulis adalah anak ketiga (bungsu)
dari tiga bersaudara yang dibesarkan dalam lingkungan yang peduli terhadap
pendidikan. Penulis mengenyam pendidikan di sekolah dasar di SDN Jadung 1
kecamatan Dungkek – Sumenep, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Dungkek – Sumenep,
dan SMAnya ditempuh di SMAN 1 Sumenep dan melanjutkan kuliahnya di STKIP PGRI
Kediri jurusan pendidikan matematika.
Saat ini penulis yang
merupakan ibu dari 2 anak (Fani dan Althaf) merupakan guru matematika di SMPN 1
Dungkek.
Barokallaah
ReplyDelete